Skip to main content

Lima hal yang aku pelajari menjelang usia lima puluh

Hai, teman-teman, Teh Nit di sini! 💃

Kalau ditanya, “Gimana rasanya mau masuk kepala lima?” aku masih suka bengong sendiri. Kok bisa, ya, umur udah segini? Rasanya baru kemarin ikutan heboh di kantor memasuki Y2K, eh sekarang lebih excited pas nemu bantal GERD. 




Dulu aku pikir usia 50 itu udah masuk kategori “tua,” tapi ternyata… ya gitu deh. Aku masih merasa sama aja kayak dulu, cuma dengan lutut yang mulai protes dan metabolisme yang udah nggak bisa diajak kompromi.

Sepanjang hidup hampir 50 tahun, ada banyak sekali hal yang aku dapatkan, alami dan pelajari. Agak susah narrowing it down to 5 but I supposed these are the big picture? 

Sometimes we need to let the young ’uns make their own mistakes

Dulu, kalau lihat anakku ngelakuin sesuatu yang obviously salah, rasanya gatal pengen bilang, “Jangan gitu deh, nanti nyesel!” atau “Udah dengerin aja, ini udah pernah kejadian sama mama dulu.”

Tapi makin ke sini, aku sadar… dia juga butuh pengalaman sendiri. Sebagaimana aku dulu belajar dari keputusan-keputusan ajaib yang bikin aku pengen tampar diri sendiri kalau dipikir sekarang, dia juga perlu ngalamin fase itu.

Kadang, nasihat terbaik yang bisa kita kasih adalah nggak memberi nasihat sama sekali. Biarkan anak-anak muda ini mencoba, jatuh, dan bangkit lagi. Karena kita semua belajar bukan cuma dari cerita orang lain, tapi juga dari kesalahan kita sendiri. Dan jujur aja, pengalaman itu guru terbaik, meskipun kadang metode ngajarnya brutal.

My wellbeing should come first, but sometimes I do have to make sacrifices

Makin tua, makin sadar kalau kesehatan mental dan fisik itu bukan sesuatu yang bisa ditawar. Kalau kita sendiri nggak jaga diri, siapa lagi?

Tapi di sisi lain, hidup juga nggak selalu bisa sebebas itu. Kadang kita memang harus mengutamakan orang lain. Ada saatnya mengorbankan waktu tidur demi keluarga, menghabiskan tabungan demi orang tua, atau menunda sesuatu yang kita mau karena keadaan menuntut begitu.

Yang penting adalah tahu kapan harus berkata yes dan kapan harus bilang enough. Kalau terus-menerus menomorduakan diri sendiri, ujung-ujungnya kita yang tumbang. Jadi, keseimbangan adalah koentji. 

Take care of yourself, but also understand that life isn’t always about you.

Death is slowly approaching

Dulu, kematian itu terasa jauh. 

Sesuatu yang abstrak, yang cuma kejadian di berita atau dialami orang yang jauh lebih tua. Tapi sekarang? Makin banyak kabar duka yang datang dari lingkaran pertemanan atau seumuran, dan makin sadar bahwa waktu kita di dunia ini ada batasnya.




Bukan, ini bukan soal jadi paranoid atau takut mati, tapi lebih ke kesadaran bahwa time is running out. Kalau ada hal yang ingin dilakukan, kenapa ditunda? Kalau ada orang yang kita sayangi, kenapa nggak bilang sekarang? Kalau ada maaf yang harus diberikan atau diucapkan, kenapa harus menunggu?

Makin ke sini, aku belajar untuk lebih menghargai waktu. Hidup itu bukan tentang seberapa lama kita ada, tapi tentang bagaimana kita mengisinya. Karena pada akhirnya, kita semua menuju ke tempat yang sama, so, might as well make it count.

The “Let Them” Theory will make your life easy(er)

Ini salah satu konsep yang benar-benar bikin hidup lebih damai: Let them. Biarin aje.

• Ada orang yang suka ngomongin kita? Let them. Biarin aje.

• Teman tiba-tiba ghosting? Let them. Biarin aje.

• Ada orang yang ngejalanin hidupnya dengan cara yang menurut kita aneh? Let them. Biarin aje

• Pada ngumpul dan gak ngajak kita? Let them. Biariin aje.

Dulu, aku sering buang energi buat meyakinkan orang lain, memperbaiki kesalahpahaman, atau mencoba membuat semua orang suka sama aku. Sekarang? Ain’t nobody got time for that.

Kita nggak bisa kontrol orang lain. Kita cuma bisa kontrol cara kita bereaksi. Dan begitu kita belajar buat let them do whatever they wanna do tanpa terlalu diambil hati, hidup jadi jauh lebih ringan. Trust me on this one.

You can’t always have what you want, but God will provide what you need

Dulu aku sering ngerasa, “Kenapa sih aku nggak bisa punya ini?” atau “Kenapa jalan hidupku nggak seperti yang aku rencanakan?” 

Kadang ada impian yang udah diperjuangkan mati-matian, tapi tetap nggak kesampaian. Waktu lebih muda, rasanya kayak gagal total.

Tapi sekarang aku bisa melihat ke belakang dan sadar… ah, pantesan dulu nggak dikasih. Kadang yang kita inginkan bukan yang terbaik buat kita. Kadang justru kehilangan sesuatu membuka jalan buat sesuatu yang lebih baik. Dan sering banget, apa yang kita butuh justru datang di waktu yang tepat, meskipun bukan dalam bentuk yang kita bayangkan.

Jadi sekarang, aku belajar untuk tetap usaha, tapi nggak lagi terlalu ngotot. 

Kalau memang jodoh, rezeki, atau kesempatan itu buat aku, dia akan datang. Kalau nggak, berarti ada yang lebih baik di depan sana. God’s plan is always better than mine.

Jadi, apakah usia hampir 50 itu bikin takut? Dulu mungkin iya. Sekarang? Not really. Ada perubahan, ada tantangan, tapi juga ada kedewasaan dan kebebasan yang dulu nggak kumiliki. Aku masih belajar, masih mencoba, dan masih menikmati perjalanan ini.


Comments

Paling Banyak Dibaca

Menopause 101

Hai, teman-teman, Teh Nit di sini! 💃 Aku lagi jalanin fase yang katanya sih "normal" buat perempuan usia segini: perimenopause.  Tapi percayalah, rasanya nggak ada yang terasa normal sama sekali.  Kalau kalian bingung apa itu perimenopause (apalagi bedanya sama premenopause, menopause, atau postmenopause), tenang, aku juga dulu gitu. Yuk, kita bedah bareng-bareng, dikit dulu aja. 1. Premenopause: masa (nampak) baik-baik saja Bayangin premenopause itu kayak masa-masa pacaran sama hormon, semuanya masih stabil. Di fase ini, kita lagi produktif banget secara reproduksi. Nggak ada tanda-tanda aneh kayak siklus nggak teratur, mood swing, atau hot flashes. Ini biasanya terjadi di usia 20-an sampai 30-an. Kalau kamu lagi di sini, nikmatilah. Nikmati stabilitasnya selagi bisa wkwkwk. It’s all (for some people) smooth sailing at this stage. Premenopause juga sering kali jadi fase di mana tubuh kita sedang "prime time" secara fisik.  Tapiii jangan lupa, kebiasaan hidup yang ...

9 hari tanpa sebat

Hai, teman-teman, Teh Nit di sini! ðŸ’ƒ Sejujurnya, kalau bukan karena opname di rumah sakit , mungkin aku nggak akan kepikiran berhenti merokok dalam waktu dekat. Bukan karena nggak mau, tapi ya… kamu tahu sendiri, kan? Rokok itu kek pasangan toxic yang udah lama banget ada dalam hidup. Kamu tahu dia nggak baik buat kamu, tapi tetap aja susah dilepasin.  Tapi ternyata, tubuh punya cara sendiri buat ‘maksa’ kita berhenti sebelum semuanya terlambat. Aku masuk rumah sakit karena salah satunya masalah lambung yang parah. Selama ini aku pikir asam lambung naik itu cuma efek dari makan telat atau kebanyakan kopi. Ternyata, rokok juga punya peran besar dalam drama ini. Konon salah satu efek nikotin adalah bikin otot di ujung kerongkongan melemah, sehingga asam lambung gampang naik. Hasilnya? Mual, nyeri dada, perut begah, dan tenggorokan terasa terbakar hampir setiap saat.  Ditambah efek karbon monoksida dari rokok yang bikin oksigen dalam darah berkurang, tubuh jadi semakin kaca...